Menimbang Putusan Praperadilan Nadiem Makarim: Refleksi atas Prinsip Keadilan dan Independensi Kekuasaan Kehakiman

Putusan praperadilan terhadap mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, menjadi sorotan publik nasional pada Oktober 2025. Dalam putusan yang dibacakan oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, gugatan praperadilan Nadiem dikabulkan sebagian—sebuah keputusan yang memantik perdebatan luas di ruang akademik dan ruang publik.

Kasus ini bukan sekadar perkara individu, tetapi menjadi cermin dinamika relasi antara lembaga penegak hukum, kekuasaan eksekutif, dan prinsip negara hukum (rechtstaat). Putusan tersebut mengundang pertanyaan mendasar: sejauh mana lembaga peradilan mampu menegakkan hukum secara objektif di tengah tekanan politik dan ekspektasi publik?

Praperadilan sebagai Instrumen Kontrol Kekuasaan

Secara konseptual, praperadilan merupakan mekanisme yudisial yang lahir dari checks and balances system untuk memastikan tidak adanya penyalahgunaan kewenangan dalam proses penegakan hukum. Pasal 77 KUHAP memberikan ruang bagi tersangka untuk menguji sah atau tidaknya penetapan statusnya, penangkapan, atau penahanan oleh aparat penegak hukum.

Dalam kasus Nadiem Makarim, hakim praperadilan menilai bahwa penetapan tersangka oleh penyidik dinilai cacat formil, karena tidak didukung bukti permulaan yang cukup serta melanggar asas due process of law. Hakim menegaskan bahwa hukum acara pidana bukan sekadar formalitas administratif, tetapi jantung dari perlindungan hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional.

Dimensi Ketatanegaraan dalam Putusan

Dari perspektif hukum tata negara, putusan ini mengandung nilai penting bagi penguatan prinsip independensi kekuasaan kehakiman (judicial independence). Dalam konteks ketatanegaraan modern, peradilan tidak hanya bertugas memutus perkara, melainkan juga menjaga keseimbangan kekuasaan agar tidak terjadi dominasi oleh satu lembaga atas lainnya.

Kasus ini menjadi momentum untuk mengingatkan bahwa kekuasaan eksekutif tidak boleh mencampuri proses peradilan, dan aparat penegak hukum tidak dapat bertindak di luar koridor hukum yang telah digariskan. Hakim dalam perkara ini mempertegas bahwa keadilan substantif harus ditempatkan di atas tekanan politik, opini publik, atau bahkan kebijakan negara yang berorientasi kekuasaan.

Pelajaran untuk Sistem Hukum Indonesia

Ada tiga pelajaran penting yang dapat ditarik dari putusan ini:

Praperadilan sebagai Benteng Hak Asasi.

1.Kasus ini menegaskan bahwa setiap warga negara, tanpa memandang status sosial atau jabatan, berhak atas perlindungan hukum yang adil. Prinsip equality before the law menjadi nyata dalam praktik.

2.Urgensi Reformasi Prosedural. Penetapan tersangka harus memenuhi standar pembuktian minimal, bukan berdasarkan persepsi politik atau tekanan publik. Reformasi prosedur penyidikan harus diarahkan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas aparat.

3.Peran Yudikatif sebagai Penyeimbang Kekuasaan. Dalam sistem demokrasi konstitusional, lembaga peradilan adalah benteng terakhir untuk menjaga marwah konstitusi. Putusan praperadilan Nadiem Makarim menunjukkan bahwa peradilan masih menjadi ruang harapan bagi keadilan yang substantif.

Putusan praperadilan ini, terlepas dari pro dan kontra yang mengiringinya, merupakan tonggak penting bagi perkembangan hukum dan demokrasi Indonesia. Ia menunjukkan bahwa dalam negara hukum, tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum—tetapi juga tidak seorang pun yang boleh dikorbankan oleh hukum.

Dalam perspektif ketatanegaraan, hakim yang berani menegakkan prinsip due process of law di tengah tekanan publik telah menjalankan amanat konstitusi untuk “menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”

Maka dari itu, putusan ini layak diapresiasi bukan semata karena membela individu, tetapi karena memperkokoh pondasi hukum dan demokrasi bangsa.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top