Demokrasi yang Lelah: Antara Partisipasi Semu dan Otoritarianisme Baru

Penulis: Andi Miftahul Amri

Dua dekade lebih pascareformasi, demokrasi Indonesia tampak berjalan dengan segala simbolnya: pemilu langsung, partai politik, kebebasan pers, dan rotasi kekuasaan. Namun di balik kemeriahan ritual elektoral itu, kita menyaksikan paradoks: partisipasi publik justru kian dangkal, kritik sosial menurun, dan keputusan politik dikuasai oleh segelintir elit.

Fenomena ini melahirkan apa yang dapat disebut sebagai “demokrasi yang lelah”—sebuah sistem yang masih hidup secara prosedural, tetapi kehilangan vitalitas substantifnya.

Demokrasi, yang idealnya menjadi ruang rasional bagi warga negara untuk berpartisipasi, kini lebih sering dipertontonkan sebagai ajang mobilisasi suara tanpa kesadaran kritis. Proses politik menjadi rutinitas yang dipenuhi euforia sesaat, bukan arena pembelajaran kolektif tentang tanggung jawab kewargaan.

Dalam teori demokrasi, Robert A. Dahl menekankan bahwa demokrasi bukan sekadar pemilihan umum, melainkan keterlibatan aktif warga dalam pengambilan keputusan yang menyentuh kepentingan publik. Sayangnya, di Indonesia, partisipasi publik sering berhenti pada bilik suara. Setelah itu, warga kembali menjadi penonton dalam politik yang dikuasai elite.

Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Fareed Zakaria sebagai “illiberal democracy”, yakni sistem politik yang tampak demokratis secara prosedural, tetapi substansinya terkikis oleh praktik oligarki dan lemahnya supremasi hukum. Demokrasi kehilangan fungsi kontrol sosial karena warga negara tidak lagi menjadi subjek politik, melainkan objek kampanye dan narasi media.

Partisipasi semu ini juga diperkuat oleh politik uang, personal branding kandidat, dan polarisasi digital yang menggeser rasionalitas menjadi emosi. Dalam konteks ini, demokrasi kita mengalami kelelahan struktural: sistem berjalan, tetapi tidak menggerakkan nilai-nilai.

Kelelahan demokrasi bukan sekadar metafora sosial, tetapi realitas politik yang ditandai oleh meningkatnya kecenderungan otoritarianisme baru (neo-authoritarianism). Otoritarianisme kini tidak hadir melalui kudeta militer atau pelarangan partai, melainkan melalui penguasaan narasi publik dan konsolidasi kekuasaan politik secara halus.

Dalam bahasa Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) dalam bukunya How Democracies Die, kematian demokrasi modern sering kali tidak disebabkan oleh runtuhnya institusi secara tiba-tiba, melainkan oleh pelemahan bertahap terhadap norma-norma demokratis—mulai dari pembungkaman oposisi, kriminalisasi kritik, hingga penyeragaman opini di ruang digital.

Ciri-ciri ini dapat kita lihat pada konteks Indonesia:

  • Regulasi kebebasan berekspresi yang semakin ketat,
  • Normalisasi politik transaksional,
  • Dan melemahnya fungsi check and balance di lembaga perwakilan.

Demokrasi, dalam kondisi demikian, tidak lagi menjadi arena kompetisi gagasan, melainkan instrumen legitimasi kekuasaan. Rakyat tetap memilih, tetapi pilihan mereka dibatasi oleh narasi yang telah direkayasa.

Kelelahan demokrasi tidak berarti akhir dari demokrasi itu sendiri. Justru pada titik inilah kita diuji apakah demokrasi hanya menjadi rutinitas formal atau benar-benar menjadi sistem nilai yang hidup dalam kesadaran warga negara.

Pemulihan demokrasi harus dimulai dari pembentukan kesadaran politik rasional, pendidikan kewargaan yang kritis, serta reformasi partai politik agar lebih terbuka dan meritokratis.

Institusi pendidikan, media, dan lembaga masyarakat sipil perlu mengembalikan demokrasi ke akarnya: partisipasi yang cerdas dan beretika. Demokrasi tidak dapat bertahan jika warga hanya pasif dan menganggap politik sebagai urusan elit. Demokrasi membutuhkan warga yang berani berpikir, bersuara, dan mengawasi kekuasaan.

Kita sedang hidup di era ketika demokrasi tampak berjalan, tetapi kehilangan makna. Namun sejarah membuktikan, demokrasi tidak pernah benar-benar mati—ia hanya menunggu warga yang bersedia membangunkannya kembali.

Kelelahan demokrasi bukan takdir, melainkan sinyal bahwa bangsa ini membutuhkan refleksi: bahwa kebebasan tidak cukup tanpa tanggung jawab, dan partisipasi tidak berarti apa-apa tanpa kesadaran.

Jika demokrasi adalah napas bangsa, maka tanggung jawab kitalah untuk memastikan ia tetap berdenyut—bukan sekadar melalui pemilu, tetapi melalui keberanian berpikir dan bertindak sebagai warga negara yang berdaulat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top